Tampilkan postingan dengan label table 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label table 8. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Agustus 2010

An Easy Way to Buy Sustainable Seafood

After I spoke with Casson Trenor a couple of weeks ago, we both became aware of Martin Reed, who has just started a business called I Love Blue Sea. Mr. Reed is a retailer who’s doing the work for you, buying and selling seafood he has verified as sustainable.

There’s a lot of appeal in this business, which is only a few weeks old, and Web-based (the physical location is in San Francisco). Mr. Reed’s goal, other than to make a living, is “to be a pioneer in selling only sustainable seafood, and in being upfront about where things come from and how they’re caught.”

Sounds good. But I had two questions. One: How do you know what you’re buying? His answer: “We use all third party standards, like those of Greenpeace (nothing from the “red list”) and the Monterey Bay Aquarium (no “avoid” fish) ” If he knows that “pirating” (as illegal fishing is called) is big with a certain species, he won’t sell it at all. (Thus, no yellowfin.) And he is insisting that suppliers sell him only fish that can be traced — individually — through bills of lading and bar codes.

Makes sense to me.

The second question concerns cost. The seafood on Mr. Reed’s site is quite fairly priced when you consider that it’s the kind of seafood we want to be buying. The selection is good, too – not as broad as in many big seafood markets, but then again, you’re not worrying about the source. There is occasionally some farm-raised fish where the wild resource is sustainable, and to me this doesn’t make sense, but remember he’s buying West Coast fish and I’m an East Coast person, so our experiences are different.

But the shipping necessarily includes frozen gel-packs and insulated boxes, which add considerably to weight and volume — thus making overnight Fedex charges high: fifty bucks, in the case of my sample order, which was for fish that cost about the same amount.

This is obviously not Mr. Reed’s fault, but it is his problem. He acknowledges this, but says that “After you get to five or ten pounds of product your order will be less expensive than if you bought a similar product at a supermarket.” I don’t know about that, but what is for sure is that, as he says, “There aren’t similar offerings in most parts of the country.”

Mr. Reed says, “We want to change the way the seafood industry works,” and I believe this is our only hope. If you think about what the word “sustainable” means, and you accept the notion that for the most part, the current state of the seafood industry is anything but, it is accountability on the part of purchasers that can move the industry in the right direction. And by taking on a bigger share of the responsibility, retailers like Mr. Reed make it easier for consumers to do the right thing.

Source: dinersjournal.blogs.nytimes.com


See Also: loewy, table 8



Kamis, 05 Agustus 2010

Chinese Hot Pot

Hot pot (Chinese: 火鍋; pinyin: huǒ guō), less commonly Chinese fondue or steamboat, refers to several East Asian varieties of stew, consisting of a simmering metal pot of stock at the center of the dining table. While the hot pot is kept simmering, ingredients are placed into the pot and are cooked at the table. Typical hot pot dishes include thinly sliced meat, leafy vegetables, mushrooms, wontons, egg dumplings, and seafood. The cooked food is usually eaten with a dipping sauce. In many areas, hot pot meals are often eaten in the winter.


History

The Chinese hot pot boasts a history of more than 1000 years. While often called "Mongolian hot pot”, it is unclear if the dish actually originates in Mongolia. Mongol warriors had been known to cook with their helmets, which they used to boil food, but due to the complexity and specialization of the utensils and the method of eating it, hot pot cooking is much better suited to a sedentary culture. A nomadic household will avoid such highly specialized tools, to save volume and weight during migration. Both the preparation method and the required equipment are unknown in the cuisine of Mongolia of today.

Hot pot cooking seems to have spread to northern China during the Tang Dynasty (A.D. 618-906). In time, regional variations developed with different ingredients such as seafood. By the Qing Dynasty, the hot pot became popular throughout most of China. Today in many modern homes, particularly in the big cities, the traditional coal-heated steamboat or hot pot has been replaced by electric, gas or induction cooker versions.

Because hot pot styles change so much from region to region, many different ingredients are used.

Source: www.wikipedia.com

See also: loewy, table 8, chinese food



Senin, 26 Juli 2010

Peringatan Hari Anak Nasional: Hak Anak untuk Sehat Berprestasi

Tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984. Tema tahun ini adalah: Anak Indonesia Belajar untuk Masa Depan, dan sub tema: Kami Anak Indonesia, Jujur, Berakhlak Mulia, Cerdas, dan Berprestasi. Untuk itu, jaminan pemenuhuan hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, gizi, pengasuhan dan perlindungan yang bermutu harus terus kita upayakan (Pedoman HAN. 2010).

Salah satu faktor penting dalam rangka menjamin anak-anak yang berprestasi adalah dengan menyediakan makanan bergizi bagi mereka. Tentu, bahan bakunya harus terjamin bersih. Salah satu restoran di Jakarta ini dikenal selektif memilih bahan baku. Selain itu, jaminan kebersihan bahan dan lingkungan pun tak diragukan lagi.

Anak-anak yang berprestasi adalah anak-anak yang memiliki waktu belajar dan bermain. Tentunya lingkungan rumah dan sekolah selayaknya mendukung fasilitas mereka. Bukan sekedar fasilitas materi tapi juga pemenuhuan kebutuhan kasih sayang. Kasih sayang pada anak ini diekspresikan dengan berbagai cara. Setiap keluarga memiliki keunikan sendiri. Mereka mengungkapkan dengan mendengarkan pendapat anak atau memenuhi kemauan anak bila berprestasi. Satu paket yang tepat bisa anda peroleh disini, selain menyediakan makanan sehat bergizi, tempat ini juga memiliki bonus jam tangan anak. Sehingga mereka bisa membagi waktu antara belajar dan bermain. (Ratih)

KIDZU BENTO FUN HOURS SERIES. Dobel Seru !!! BARU HADIAHnya, BARU MENUnya.

Mulai 17 Mei 2010, hanya dengan membeli paket KIDZU BENTO seharga Rp. 18.182,-*, kamu bisa dapatkan salah satu jam tangan Fun Farm yang lucu-lucu. Ada Momoow & Kokekko.





Lihat juga: Loewy, Table 8

Kamis, 22 Juli 2010

Seafood Siiip

Fish is a highly perishable product. The fishy smell of dead fish is due to the breakdown of amino acids into biogenic amines and ammonia.

Live food fish are often transported in tanks at high expense for an international market that prefers its seafood killed immediately before it is cooked. This process originally was started by Lindeye. Delivery of live fish without water is also being explored.While some seafood restaurants keep live fish in aquaria for display purposes or for cultural beliefs, the majority of live fish are kept for dining customers. The live food fish trade in Hong Kong, for example, is estimated to have driven imports of live food fish to more than 15,000 tonnes in 2000. Worldwide sales that year were estimated at US$400 million, according to the World Resources Institute.

If the cool chain has not been adhered to correctly, food products generally decay and become harmful before the validity date printed on the package. As the potential harm for a consumer when eating rotten fish is much larger than for example with dairy products, the U.S. Food and Drug Administration (FDA) has introduced regulation in the USA requiring the use of a time temperature Indicator on certain fresh chilled seafood products.

Source: www.wikipedia.com

See also: seafood, loewy, table 8

Rabu, 14 Juli 2010

Padu Padan Makanan

Alih Bahasa Oleh: Ratih

Pernahkah kamu makan pagi, siang malam dengan menu yang sama? Bisa jadi jawabannya pernah atau tidak pernah. Tanpa kita sadari, kita memilih makanan bukan hanya berdasarkan keinginan tapi juga berdasarkan kategori makanan. Penelitian mengenai makanan dan budaya mengkategorikan makanan menjadi beberapa bagian. Bukan hanya berdasarkan selera pribadi. Berikut kategori makanan menurut hasil penelitian di negara berkembang dan maju:

  1. cultural superfoods: fungsi makanan ini untuk diet;

  2. prestige foods: makanan berprotein tinggi, mahal atau unik;

  3. body image foods: makanan yang dipercaya dapat mempengaruhi kesehatan, kecantikan dan kesejahteraan;

  4. sympathetic magic foods: makanan yang memiliki kesamaan dari segi bentuk dan warna;

  5. physiologic group foods: makanan yang tidak boleh dikonsumsi bagi kelompok tertentu misalnya gender, usia atau kondisi kesehatan.

Kategorisasi ini memudahkan para peneliti mengidentifikasi dan memahami kebiasaan makan dari berbagai kebudayaan, termasuk soal berikut:

  1. frekuensi konsumsi makanan yang digambarkan melalui model makanan utama dan pelengkap;

  2. tradisi budaya dalam mempersiapkan makanan berdasarkan perayaan tertentu;

  3. makanan harian, mingguan, dan tahunan dalam pola makan serta siklus makan;

  4. perubahan dari fungsi-fungsi makanan yang disebabkan oleh perkembangan budaya, diprediksi dari perubahan pandangan tentang budaya makan.

Makanan yang paling sering dikonsumsi diantaranya: nasi, gandum, jagung, dan sayuran. Sedangkan makanan yang luas penyebarannya namun dikonsumsi dengan frekuensi tertentu seminggu sekali ialah: ayam, selada dan apel. Sedangkan makanan yang dikonsumsi sekali-sekali disebut peripheral foods. Sifatnya pilihan pribadi, bukan kebiasaan budaya secara berkelompok. Pada banyak budaya, terutama pada masyarakat agraris, makanan utama disajikan dengan makanan pelengkap untuk menyeimbangkan kadar nutrisi antara makanan utama dan makanan pelengkap. Nasi, roti dan pasta disajikan dengan sayuran atau tomat. Di Cina, nasi dipadukan dengan sayuran, di Itali mie dipadukan dengan saus tomat (spaghetti), di Meksiko tortilla dengan salsa. Padu padan makanan memang bersifat membudaya pada jenis makanan utama dan lauk. Bagaimana denganmu?


Sumber:

Kittler, Pamela Goyan and Kathryn Sucher. 2008. Food and culture. Belmont: Thomson Wadsworth.


Lihat juga: Loewy, Table 8, dim sum


Minggu, 11 Juli 2010

Makanan Favoritmu, Lingkunganmu

By: Ratih

Ciri dari identitas seseorang menurut para ahli, salah satunya dilihat dari makanan favorit. Sebab makanan yang kita suka berasal dari lingkungan tempat kita hidup dan bergaul. Benarkah? Kita telisik dari apa yang terjadi di masa lalu baru kemudian kita lihat diri kita sekarang. Sejarah dari rasa berkaitan dengan bagaimana para petani di masa lalu. Cara bagaimana mereka mengatasi tidak pastinya panen, persediaan makanan dan tak menentunya harga-harga. Dari satu tempat ke tempat lain, makanan bervariasi dalam bahan pembuatnya dan cara penyajiannya. Makanan merefleksikan lingkungan tempat sebuah masyarakat hidup, meski tak selalu ditentukan olehnya. Masyarakat yang hidup dekat laut cenderung mengkonsumsi ikan daripada mereka yang hidup dekat pegunungan. Pengecualian untuk Pulau Sicily yang masyarakatnya tidak suka mengkonsumsi ikan, dan Inggris di masa lalu begitu menghindari ikan kecuali hanya beberapa spesies saja dengan metode penyajian tertentu. Kondisi lingkungan merupakan satu tantangan tersendiri untuk menciptakan satu jenis makanan baru misalnya di daerah bersalju (Freedman. 2007).


Pandangan masyarakat mengenai makanan dan lingkungan tempat mereka hidup sehari-hari menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan lewati waktu serta benua. Kentang dan kacang dari dunia ketiga diperkenalkan ke Eropa dan Cina melewati berbagai rintangan; kuliner khas Islam ternyata menjadi model bagi makanan Eropa di abad pertengahan. Hubungan antar negara diawali dengan pertukaran jenis makanan, baik bahan makanan ataupun cara penyajiannya. Selain itu, di Portugal makanan terkait dengan filosofi hidup: “Men are not measurable by their size.” So, makanan pun tak dilihat dari besarnya porsi tapi dinikmati dari kuatnya rasa dengan aroma khas demi menyimpan kenangan. Makanan favorit disana: sup sayuran dengan daging. Tak heran, mereka begitu semangat mencari bumbu-bumbu khas keluar dari negerinya. Demi “menyimpan kenangan.” (Wilkins. 1996).


Bagaimana denganmu? Apakah rela berjuang keluar dari zona nyamanmu sehari-hari demi semangkuk sup? Kalau makanan yang kamu cari itu memang enak, worthed untuk diburu. Chinese food kamu bisa hunting di Loewy dan Table 8, sedangkan makanan Eropa di Pizza Hut, Tamani dan Marzano. Keluar dari lingkungan sendiri berarti mengenal “dunia lain,” meski tak usah pergi terlalu jauh dari Jakarta. Lingkungan restoran tentu menawarkan suasana yang berbeda dengan rumah. Suasana yang tak biasa kadang membuat kita ingin datang lagi untuk melepas jenuh dengan rutinitas.


Daftar Pustaka:


Freedman, Paul (Editor). 2007. Food: the History of Taste. California: University of California Press

Wilkins, John. 1996. Food In European Literature. Exeter: Intellect Books.


Kamis, 08 Juli 2010

Simbol Makanan

Alih Bahasa Oleh: Ratih

Simbolisme dan permainan kata mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan di China, termasuk makanan. Itulah sebabnya banyak makanan disajikan selama perayaan Tahun Baru. Cukup menarik bukan? Berikut makna-makna dibalik makanan:

rumput laut hitam: kesejahteraan

kacang kering: kebahagiaan, kacang segar kurang disukai karena berwarna putih yang diartikan sebagai kematian

telur: kesuburan

dadar gulung: kemakmuran

kacang leci: ikatan erat dalam keluarga dan sajian untuk para dewa

mie: umur panjang

jeruk: kesejahteraan dan keberuntungan

kacang-kacangan: umur panjang

pomelo: kelimpahan harta, kemakmuran dan keluarga besar

jeruk mandarin: kesejahteraan dan keberuntungan

lotus root: keberuntungan dalam keluarga, berarti kebersamaan dengan para anggota keluarga

permen: harapan untuk hidup yang indah

kue beras: doa agar seorang anak bertumbuh kembang dengan baik

Setelah tahu makna dibalik makanan, maka berhati-hatilah memilih makanan di restoran Loewy atau Table 8 yang menyajikan aneka chinese food.


Sumber:

Vegetarian Times. Edisi Februari 2003.